Aku tak menyangka aku pernah
berperang hebat dengan penyakit yang sangat mematikan. Awalnya gejala ringan.
Hanya pusing serak tenggorokan, gampang cape/pegal dan mimisan. Saat itu aku
berusia 11 tahun. Kelas 6 SD yang akan berjuang melawan soal Ujian Nasional.
Aku memang terbilang siswi yang
aktif dalam organisasi atau kegiatan sekolah, selalu ingin jadi pengibar
bendera atau petugas lainnya dalam upacara bendera, selalu ingin mengikuti
setiap kegiatan pramuka. Dan saat itu salahnya aku mengikuti kegiatan
perpisahan yang di gelar dan di susun sedemikian rupa dalam acara camp. Aku
mengemas segala perlengkapanku, termasuk obat-obatan. Karena aku kadang suka
kambuh.
Beberapa rangkaian acara dan
kegiatan di akhir sekolah dasarku ini aku sangat antusias mengikutinya, bahkan
aku menyiapkan vocalku dalam bernyanyi untuk terakhir kalinya kepada
guru-guruku.
Tapi sayangnya.. saat acara
perpisahan itu di gelar, tepatnya setelah Ujian Nasional. Aku tak bisa
mengikutinya sama sekali, aku hanya bisa tertidur di ranjang yang beralaskan
kain putih. Apalagi kalau bukan RUMAH SAKIT. Ya.. saat itu bulan juni . Aku di larikan ke rumah sakit
terdekat, karena kondisiku yang makin memburuk. Kakiku lemas dan tubuhku kurus
sekali. Hingga akhirnya aku harus berkenalan selang infusan yang menyiksa kulit
tanganku itu. Bagaimana bisa melarikan diri dari rumah sakit. Sementara dokter
marah karena penyakit yang aku derita di biarkan begitu saja selama 1 bulan
lebih.
Aku memang tak menyangka harus
menyerahkan tubuhku ini ke dokter itu. Aku di rontgen bahkan check darah, tapi
penyakit itu tetap tak bisa di temukan, tak lama setelah itu. Dokter mengulas
masalaluku, penyakit yang pernah aku derita kelas 1SD dulu. Tyfus.. dokter
memfonisku tyfus. Sebelumnya aku di fonis bronhitis oleh dokter lain sebelum
aku do fonis tyfus oleh dokter rumah sakit itu.
Jenuh rasanya berada di rumah
sakit itu, aku berusaha ingin menyembuhkan diri. Akupun diizinkan pulang
setelah di rawat selama 1 minggu. Aku bahagia, karena aku sebentar lagi akan testing
di salah satu SMP pilihanku “SMPN 3”. Namun sayang, saat testing akan aku hadapi,
penyakitku kambuh, panas dan kaku. Digendongnya aku penuh rasa miris oleh
ayahku. Karena aku tak bisa menggunakan kakiku untuk berjalan. Duduk di bangku
saat mengerjakan soalpun harus memakai bantal yang tebal, ya saking kurusnya
tubuhku.
Seusai testing, akupun di bawa ke
salah satu rumah sakit untuk di periksa. Tepatnya bulan July saat itu. Dirumah
sakit itulah aku merayakan ulang tahunku yang ke 11. Lagi-lagi dokter tak bisa
menemukan penyakitku. Setelah 10 hari disana, akupun diperbolehkan pulang.
Tak lama aku dirawat di rumah,
lagi-lagi demam itu datang, Ayah dan ibukupun membawa aku ke dokter spesialis
yang di Bandung sangat terkenal. Lama mengantri, akhirnya akupun di periksa.
Nampak teliti dokter itu memeriksaku, dan aku baca wajahnya. Ia memang tak
sanggup untuk menangani penyakitku itu. Orangtuaku kebingungan, dan akhirnya
dokterpun menyampaikan sesuatu. “check darah yang saya list, kemudian bawa
secepatnya ke prof ****. saya telpon sekarang, jadi tak usah mengantri disana”
ujar dokter terburu-buru. Aku tak mengerti apapun soal orangtua dan dokter
bicarakan, yang jelas, aku harus memberikan banyak sample darahku lagi untuk di
cari penyakit itu apa.
Sampailah kami di salah satu
laboratorium darah. Ahh tak mengantri, jadi aku aku akan secepatnya dimasukan
jarum dan di ambil darah. Lagi-lagi darah lagi-lagi darah -_- . Setelah di
ambil sample, aku menunggu hasilnya di mobil. Setelah ada hasilnya banyak
keganjalan yang terlihat disitu. Dimana Trombositku sangat stabil dan
eritrositku sangat merosot jauh dari kestabilan, sementara ada satu darah yang
melebihi normal. Aku dan kedua orangtuaku melesat secepatnya menuju tempat
praktek profesor itu. Langsung masuk tanpa mengantri, ya, seperti yang dokter
itu bilang, ia telah memesannya beberapa jam lalu untukku. Duduklah di kursi
berhadapan dengan profesor itu, aku lihat sekelilingku memang luar biasa
profesor ini banyak mendapatkan penghargaan dan piagam mulai dari
perunggu,perak dan emas, bahkan sertifikat.
Mungkin profesor itu memang telah mempunyai nama di Indonesia bahkan
hingga keluar negeri. Tapi aku baru mengetahuinya saat itu.
Hasil test darah dari
laboratorium itupun di serahkan kepada profesor . aku tak di periksa sama
sekali, dan akupun di bawa ke mobil. Kata ibuku “sabarnya, iqma teh kedah di
rawat deui” . Rasa sedih dan menyesalku ada saat itu. Aku hanya bisa
membebankan kedua orangtuaku, membuat mereka sedih karena kondisiku yang sangat
tak bisa apa-apa.
Aku berbaring di ranjang rumah
sakit mewah itu, Rumah sakit kristen yang berada di Bandung. Itu Bulan
Agustus.. aku tak menyangka hidupku bergantung alat medis. Di rumah sakit,
panasku turun dan saat semuanya di lepas aku kembali demam. Namun hari itu, aku
benar-benar di perhatikan. Esok hari, profesor ahli darah itu datang, akan
menanganiku dengan sungguh-sungguh. Beberapa sample di ambil namun belum ada
laporan penyakit yang aku derita. Infusan lepas pasang, karena dalam tubuhku
telah kering kehabisan darah. Kulitku memucat, gigiku merenggang, kakiku lumpuh
seketika,pipikupun mengerut beserta mata, tubuhku tak sedikitpun benjolan perut
gemuk, yang terlihat hanyalah benjolan tulang rusuk. Prof say “apabila
penyakitku tak kungjung di temukan,maka harus di lakukan pengambilan sum-sum
tulang belakang”. Berbagai do’a terlintas mengiringi aku dalam berobat di rumah
sakit itu.
5 hari setelah di rawat profesor
dokter itu menyimpulkan bahwa penyakitku diketemukan. Nama penyakitnya adalah
SABE (SubAcute Bacterial Endocarditis Emedicine). Dimana dalam darah mengandung
bakteri yang memakan sel darah merah di tubuh, sehingga sel darah putih
menyebar banyak di dalam tubuh. Kata famillyarnya dih Gejala Leokimia. Dan menyimpulkan
juga bahwa penyakitku berasal dari tular penyakit oranglain melalui suntikan. Mungkin
saat aku di larikan ke rumah sakit pertama, aku di jadikan bahan mal praktek di
sana, sehingga suntikan dan alat lainnya itu tidak steril.
Kami tertegun mendengar itu. Yang
aku tau, Leokimia itu adalah bagian dari kanker yang sangat membahayakan
kesehatan bahkan bisa merenggut kematian. Di sodorkan dua pilihan yaitu cuci
darah atau therapi oleh anti biotik. Akhirnya akupun di supply oleh antibiotik
khusus “zyfox” aku masih mengingatknya. 10 hari aku di rawat beserta melawan
kanker yang telah menyebar di punggungku aku bisa pulang dan hanya tinggal
check up saja ke prof itu.
Lama-kelamaan aku berobat ke prof
itu untuk menstabilkan leukosit,eritrosit. Biaya yang cukup mahal, dan aku
merasa aku tak terlalu kurus dan perlahan bisa menggerakkan kakiku, aku
memutuskan untuk berhenti check up dan masuk sekolah di smpn 3 yang telah
menerimaku sebagai siswi baru dengan jurusan pertanian. Tapi aku tak bisa bertahan lama di sekolah itu,
penyakitkupun kembali kambuh, kakiku, tubuhku kembali seperti saat aku sakit.
Kami pasrah, puluhan juta untuk menyingkirkan kanker ternyata tak menjamin. Mereka
mengikhlaskanku apabila tuhan mengambil nyawaku saat itu. Namun ada bisik orang
yang membawaku untuk berobat ke obat-obatan tradisional. Biaya yang lumayan
mahal itu ternyata menyembuhkan penyakit kankerku itu, penyakit kankerku di
cabut sampe akar oleh bapak pengobatan alternatif itu, aku menghentikan
sekolahku dan akan masuk tahun depan tahun ajaran baru, meski saat itu aku
mempunyai teman-teman yang sangat peduli terhadapku, aku harus tetap fokus
untuk pengobatanku. 1 tahun aku berobat, berbagai jamu ramuan aku minum, aku
konsumsi setiap detik,menit,jam, pagi,siang,malam. Aku bosan, dan lagi berhenti
berobat. Ternyata benar aku benar-benar telah bebas dari kanker. Bahkan katanya
aku sudah kebal kanker. Alhamdulillah sampai saat ini aku bisa bertahan hidup.
Kesehatan itu sangat berarti. Juga hidup.. Hidup untuk sehat, dan sehat untuk
sebuah kebahagiaan..
Buat teman-teman yang membaca
atau teman-teman yang mengalami kanker lainnya, selalu semangat, nikmati hidup,
dan lawan lawan lawan... Tepatkan pada satu titik dan tujuan bahwa di sana ada
mimpi kalian. Semoga hidup kalian lebih baik setiap harinya. Jangan putus asa
dan pantang menyerah..!!
*Fighting Kanker !!
No comments:
Post a Comment